\ Kisah Pengarsip Gambar Hidup, Misbach Yusa Biran ~ ALUS Asosiasi Mahasiswa Ilmu Perpustakaan

Jumat, 29 Maret 2013

Kisah Pengarsip Gambar Hidup, Misbach Yusa Biran

Film adalah rekaman keadaan yang paling akurat untuk mengabadikan suatu peristiwa/sejarah, yang sewaktu-waktu bisa ditengok/dilihat kembali untuk kita mengambil pelajaran dari periode kehidupan yang sudah berlalu. Gambaran nyata kehidupan pada suatu masa terekam dalam film, seperti cara berpakaian, bicara, hingga berpikir, dan lain-lain sehingga arsip film mengabadikannya.

Kesadaran tentang makna gambar hidup itulah yang membuat sutradara, penulis, kolumnis dan sastrawan Misbach Yusa Biran menetapkan hati untuk menjadi pengarsip film, setelah memutuskan untuk keluar dari dunia perfilman tahun 1971, saat produksi film porno marak. "Saya melihat bahwa kita berulang-ulang melakukan kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi di masa lampau karena tidak adanya dokumentasi.... Itu yang saya lihat," katanya dalam sebuah wawancara dengan pembuat film dokumenter "Anak Sabiran, di Balik Cahaya Gemerlapan". Film feature dokumenter yang berdurasi 160 menit yang dibuat oleh Fuad Fauji, Hafiz Rancajale, dan Mahardika Yudha bersama Misbach itu berusaha memberikan gambaran tentang gagasan pengarsipan film dalam pikiran Misbach dan faktor-faktor dari masa lalu yang mempengaruhinya. Tentang bagaimana orang tua Misbach yang aktif dalam pergerakan dan pernah menjalani masa pembuangan di Boven Digoel, Ayun Sabiran dan Yumenah, membuat Misbach muda punya pengetahuan politik lebih banyak dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Juga bagaimana Misbach menimba ilmu dan belajar banyak tentang perbedaan dari pendidikan Taman Madya Perguruan Taman Siswa di Kemayoran, Jakarta, tempat dia dikenal sebagai biang kerok oleh para guru.

Selain itu tentu saja tentang film-film yang ikut mempengaruhi pemikirannya. Pemuda yang lahir di Rangkasbitung, Lebak, Banten, pada 11 September 1933 ini menyebut film-film Jepang seperti "Shina No Yoru", "Kemenangan Sayap", dan "Harimau Melayu" sebagai tontonan pertamanya. Seperti yang terjadi pada Usmar Ismail, film-film Jepang juga membawa kesadaran tentang pentingnya film dalam penyampaian pesan perjuangan dan kebangsaan pada diri Misbach. "Media ini sangat efektif untuk menyampaikan gagasan kepada orang lain secara persuasif, dengan membujuk, dan dampaknya sangat kuat." "Media yang punya pengaruh begitu besar pada penerimaan orang. Penyampaian ideologi yang mungkin diuraikan dalam buku-buku tebal, hanya butuh satu film untuk menyentuh orang," katanya. Kecintaan pada film dan pengetahuan tentang fungsi citra bergerak membawa Misbach ke dunia pengarsipan film setelah dia berhenti menjadi sutradara, keputusan yang waktu itu membuat khawatir istrinya, Nani Wijaya. "Saya katakan kepada Asrul (Sani) saya mau bikin dokumentasi arsip film. Kata Asrul itu bagus sekali...tapi itu akan susah katanya. Tapi saya berkeras mau bikin," katanya.

Misbach lantas membuat proposal pembentukan lembaga arsip film dan menyampaikannya ke Gubernur DKI Jakarta pada masa itu, Ali Sadikin. Ia cukup yakin usulnya bakal diterima karena menurut dia Ali Sadikin adalah orang berpikiran revolusioner dan sudah membangun Taman Ismail Marzuki, Institut Kesenian Jakarta dan Gedung Kesenian Jakarta. Usulnya benar disetujui, Sinematek Indonesia pun terbentuk dan diresmikan pada 20 Oktober 1975. Semua hal tentang film pun dikumpulkan dan disimpan di ruang penyimpanan Sinematek, ruang dingin dengan rak-rak dan kardus-kardus, perpustakaan, serta kamar kecil berisi macam-macam dokumentasi dan materi publikasi film. Ribuan koleksi film cerita dan dokumenter, skenario, aneka materi publikasi, buku, dan arsip-arsip tokoh penting film tersimpan di sana. "Dulu kan ada izin produksi. Setiap bikin film harus minta izin, dan memberikan dua skenario, nah satunya saya ambil, jadi lengkap.

Sekarang karena nggak ada izin ya susah dapat skenarionya, kadang dikasih kadang nggak," kata dia. "Salah sekali sebenarnya penulis skenario nggak menyerahkan karena di sini kan diabadikan karyanya. Tapi ya itu, kesadaran untuk mengabadikan itu kurang," tambah dia. Namun sayang usaha Misbach tak dilanjutkan. Setelah dia berhenti mengurus Sinematek pada 2001, koleksi lembaga pengarsipan film pertama dan terbesar di Asia Tenggara itu tak banyak bertambah. Usaha penambahan koleksi hampir tak ada. Artefak Berharga Dalam wawancara dengan pembuat film "Anak Sabiran, di Balik Cahaya Gemerlapan", penulis katalog film Indonesia, JB Kristanto, mengatakan bahwa semua yang ada di gudang Sinematek adalah harta karun budaya dan Misbach adalah perawatnya. "Kekayaan film itu menurut saya sebagai artefak jauh lebih kaya dari artefak yang lain, karena dia bukan gambar mati. Misbach-lah yang tahu semua itu," katanya. "Itu harta karun, harta karun budaya. Kalau nggak dirawat kita nggak punya masa lalu, nggak punya sejarah," kata bekas wartawan yang kemudian aktif menjadi penulis resensi film itu. Dan nasib beberapa bangsa yang tidak punya sejarah dan masa lalu tidaklah terlalu bagus, karena akar sejarah dan budaya merupakan salah satu kekuatan yang menyatukan dan menguatkan sebuah bangsa. Setidaknya itu menurut kesimpulan Eric Weiner, penulis Amerika yang berkelana mengunjungi 10 negara untuk mencari kebahagiaan, setelah beberapa hari tinggal di Qatar dan Moldova.

Jadi usaha Misbach dalam merintis pengarsipan dokumentasi film dan pengabdiannya selama 30 tahun untuk membangun lembaga pengarsipan film sudah seharusnya dilanjutkan supaya bangsa ini tak sampai kehilangan sejarah, akar yang menyatukan. Sutradara Riri Riza, yang mengaku mewakili generasi yang tidak terlalu membaca sejarah, menyadari pentingnya pengarsipan dokumentasi film setelah berdiskusi panjang dengan Misbach, yang dianggap sebagai orang yang susah didekati, kaku dan berdisiplin tinggi. Pertemuan-pertemuannya dengan Misbach di Sinematek membuat dia sadar bahwa film Indonesia sekarang terhubung dengan masa lalu. Dan benang merah hubungan itu bisa tak terlihat kalau tidak ada penyambungnya, arsip dokumentasi film. Kesadaran akan pentingnya pengarsipan film dan peran Misbach pula yang membuat Hafiz dan kawan-kawannya di Forum Lenteng menghabiskan waktu 1,5 tahun untuk membuat film dokumenter yang membaca kembali makna dan fungsi arsip film terhadap konstruksi sejarah dan gagasan film di Indonesia. Tertinggal merana Kini, bahkan belum ada setahun sejak Misbach meninggal dunia pada 11 April 2012, sebagian arsip dokumentasi film sudah tertinggal merana di ruang penyimpanan Sinematek Indonesia.

Nasib koleksi film sedikit lebih baik, masih bisa menempati ruang penyimpanan yang meski belum sesuai standar namun kondisinya dijaga tetap stabil pada suhu sembilan derajat Celcius sampai 12 derajat Celcius dan kelembapan antara 45 persen dan 65 persen. Koleksi film yang sampai sekarang belum semua dibuat katalognya itu juga berpeluang mendapat giliran untuk dibersihkan dan diperiksa secara berkala, kalau bernasib baik diputar untuk ditonton kembali. Menurut Kepala Seksi Perawatan Film Sinematek Indonesia, Hartono, Sinematek tidak mempunyai cukup tenaga dan dana untuk secara berkala memutar kembali semua koleksi film. Sebagian film bahkan sama sekali tidak pernah diputar lagi karena Sinematek tidak punya alat pemutarnya, jadi hanya bisa diputar-balik gulungan pitanya supaya bisa bertahan lebih lama. Nasib jenis koleksi yang lain lebih tidak beruntung Koleksi skenario, buku-buku film, dan arsip tokoh penting film hanya bisa pasrah tinggal di perpustakaan berhawa gerah di lantai lima gedung Sinematek Indonesia. Beberapa buku skenario film lama sudah mulai kabur hurufnya, kertasnya mencokelat, juga ada yang sudah terkikis pada beberapa bagian.

Aneka poster dan materi publikasi film dari masa ke masa tergolek tak berdaya, bertumpuk pada rak-rak tanpa mendapat perlindungan terhadap rayap, fluktuasi suhu dan kelembapan. Beberapa ada yang sobek, dimakan rayap, atau menempel satu sama lain. Foto-foto adegan dan pemain film pada masa lalu juga tidak disimpan seperti layaknya arsip sejarah, yang biasanya diperlakukan sebagai barang berharga dan bahkan tak boleh disentuh tangan manusia supaya tidak kotor dan cepat rusak. Koleksi bekuan peristiwa-peristiwa pembuatan film jaman lalu disimpan tanpa perlakuan perlindungan yang layak, hanya ditata dalam laci lemari besi dengan kertas agak tebal di antaranya. Sebagian foto malah masih tersimpan dalam kardus-kardus bekas air minum kemasan, termasuk di antaranya foto bertanggal 19 April 1955 yang dikirim Chitra Dewi--pemeran perempuan terkenal era 1950-an sampai 1990-an-- untuk melamar menjadi pemain film, serta foto-foto acara Pesta Film Indonesia dan Festival Film Indonesia. Misbach menyaksikan kondisi terakhir hasil usaha pengarsipan yang dia rintis dengan sekuat tenaga selama separuh hidup itu saat datang ke Sinematek bersama pembuat film dokumenter pengarsipan film tahun lalu, dengan kondisi kesehatan sudah memburuk, yang membuat dia bahkan terlihat harus berusaha keras untuk bernafas dan berjalan. "Tuh coba, masa begini...(menghela nafas panjang). Sayang ya..., 30 tahun saya habiskan di sini. Ujungnya dibeginiin aja...(menghela nafas panjang). Aahhh...nasiiib lah," kata Misbach lalu kembali menghela nafas panjang dan meninggalkan ruang penyimpanan arsip film Sinematek. Beberapa bulan sesudah itu dia meninggal dunia.

Sumber: kompas 
NS

0 comments:

Posting Komentar